Pencarian Berita

GDPR Compliance

We use cookies to ensure you get the best experience on our website. By continuing to use our site, you accept our use of cookies, Privacy Policy, and Terms of Service.

Shopping cart

Saved articles

You have not yet added any article to your bookmarks!

Browse articles

"Misteri di Balik Kabut Rinjani"

Penulis: Anggoro Anantopuspo • Editor: Anggoro Anantopuspo

Sabtu pagi (21/06/2025) menjelang siang saya bersama isteri, seorang anak laki-laki, menantu dan 2 orang cucu berada di Desa Sembalun, sebuah Desa yang indah dan permai di kaki Gunung Rinjani, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Meskipun hari sudah menjelang siang, namun cuaca di Desa Sembalun terlihat mendung, bahkan Gunung Rinjani tak terlihat sama sekali, seperti hilang ditelan kabut yang menyelimutinya.

Rafles dan keluarga tiba di Lombok, NTB.(Foto : Dok Pribadi)

"Itu Gunung Rinjani disebelah kanan Pak", kata driver yang merangkap guide kami selama berada di Lombok. "Sayangnya tidak terlihat, tertutup kabut. Biasanya sangat jelas terlihat dari sini", sambungnya lagi.

Saya dan keluarga tidak memberi reaksi apa-apa atas penjelasan tersebut. Mungkin karena kami sudah terbiasa melihat gunung Merapi dan Singgalang, dua gunung utama di Sumatera Barat yang sering diselimuti kabut seperti itu.

Ternyata kabut yang menyelimuti Gunung Rinjani pada hari itu bukanlah kabut biasa. Ia adalah kabut yang sedang menyembunyikan duka. Ya, Rinjani sedang berduka. Seorang pendakinya Juliana Marins, subuh dinihari sebelum kedatangan kami di Desa Sembalun, mengalaminya kecelakaan fatal.

Perempuan cantik berusia 26 tahun asal Rio de Janeiro, Brasil itu terjatuh dari ketinggian Gunung Rinjani yang 3.762 meter diatas permukaan laut, lalu terperosok ke jurang sedalam 200 meter. Lalu jatuh lagi ke kedalaman sampai 600 meter.

Tubuh perempuan berkulit gelap khas wanita Amerika latin itu baru ditemukan beberapa hari kemudian dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Evakuasi jasad Juliana Marins berlangsung haru dan dramatis, bukan saja karena medannya yang sangat berat, tetapi juga karena waktunya yang cukup lama.

Salah seorang penyelamat yang tergabung dalam
Team SAR setempat bahkan sampai rela bermalam bersama jasad Juliana Marins yang sudah mulai membeku diterpa dinginnya udara di puncak Gunung Rinjani, baik siang maupun malam hari.

Kawah di Puncak Gunung Rinjani (Foto : Trekker Indonesia)

Anehnya, meskipun sedang berada di lokasi yang berdekatan dengan tempat kejadian dan dalam waktu yang hanya berbeda sekitar 6 jam, tidak sedikitpun kami mendengar kabar, berita maupun isu tentang adanya pendaki Gunung Rinjani yang mengalami kecelakaan pada hari itu.

Bahkan sampai kami meninggalkan Lombok untuk kembali ke Batam pada hari Senin tanggal 23 Juni 2025, cerita tentang kecelakaan yang menimpa seorang pendaki di Gunung Rinjani itu belum kami ketahui sama sekali.

Barulah pada hari Kamis tanggal 26 Juni 2025 saat upaya evakuasi terhadap jenazah Juliana Marins dilakukan, kabarnya mulai merebak memenuhi laman media sosial dan media-media mainstream seperti radio, televisi dan media cetak yang memberitakannya dengan intens.

Ketika pertamakali mendengar berita itu saya seperti terpaku, termenung, terharu bercampur sedih. Kenapa saya baru mendengar kabar itu beberapa hari kemudian, bahkan ketika saya sudah berada jauh dari lokasi yang mungkin jaraknya mencapai ribuan kilometer. Padahal ketika peristiwa itu terjadi saya berada tidak jauh dari lokasi dengan jarak waktu yang tidak terlalu jauh berbeda. Mungkin ini sebuah misteri dari Gunung Rinjani yang tidak akan bisa saya ungkap untuk selamanya.

Kedatangan kami ke Desa Sembalun di kaki Gunung Rinjani, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat sebenarnya semata-mata hanya untuk berwisata memanfaatkan waktu menjelang menghadiri acara Pesta Pernikahan/Baralek anak dari adik sepupu isteri saya yang akan berlangsung esok harinya (Minggu, 22 Juni 2025) di Mesjid Agung Kota Mataram.


Peta destinasi wisata Pulau Lombok, NTB. (Foto : Dok Pribadi)

Kunjungan ke Desa Sembalun di kaki Gunung Rinjani ini adalah alternatif terakhir dari beberapa rencana wisata lainnya yang ditawarkan driver/guide kami, pada hari itu.

Tawaran pertamanya ke Gili Trawangan. Dia memberi penjelasan bahwa Gili Trawangan adalah lokasi wisata pantai dan wisata air, termasuk wisata selam atau snorkling. Karena tidak siap dengan perbekalan dan peralatan untuk wisata air, maka tawaran pertama ini kami abaikan.

Tawaran kedua adalah Wisata Kota termasuk mengunjungi Kota Lama Ampenan dengan pelabuhan lautnya dan kawasan kotanya yang mirip dengan kawasan Muara dan kawasan Pondok di Kota Padang. Rencana wisata kota ini akhirnya kami tunda menjadi malam hari saja.

Tawaran ketiga adalah ke Pantai Senggigi yang sangat terkenal itu. Letaknya juga tidak terlalu jauh. Hanya sekitar 1 jam perjalanan dari Hotel Lombok Raya tempat kami menginap yang terletak di pusat Kota Mataram.

Sang guide juga memberikan masukan tambahan jika pilihannya ke Senggigi, sebaiknya dilanjutkan ke Desa Sembalun di kaki Gunung Rinjani yang jalurnya searah.

Di jalur yang sama juga bakal ada satu objek wisata religius yakni Mesjid Tua di Desa Bayan yang telah berusia hampir 500 tahun dan diyakini sebagai pusat pengembangan agama Islam di Lombok pada abad ke XVI.

Kamipun memutuskan untuk memilih tawaran yang ketiga ini, karena objek kunjungannya yang cukup lengkap. Ada wisata pantai, wisata gunung dan wisata religi sekaligus. Sekali gigit tiga rasa. "Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui", kata pepatah Orang Minang. (Bersambung)

Penulis : Rafles

Artikel terkait